Emotional vs Functional Value
Obrolan kami sore itu pun berlanjut. Tidak terasa, sudah hampir 1 jam lebih kami mengobrol. “Wah kalau dulu pas sebelum masuk kuliah gue mana mungkin bisa ngobrol sama orang sebanyak ini. Gue cenderung pendiam dan menjawab seperlunya aja. Sekarang lo udah nanya dikit, gue udah cerita kemana-mana ‘kan haha,” kenang Kak Tyo.
Ada satu hal lagi yang masih mengusik benak saya. Ketika banyak artikel dan buku bisnis memberi penekanan pada sisi emosional konsumen, cara menigkatkan keterikatan emosional konsumen, dan cara merangsang emosi konsumen dalam produk dan jasa yang kita tawarkan, Kak Tyo malah menekankan bahwa Tuku ingin ngopi-nya kembali ke fungsional. Toh, walaupun begitu, banyak konsumen Tuku yang merasakan kedekatan dengan Tuku. Saya mencoba mengklarifikasi maksud konkrit dari pernyataan Kak Tyo tersebut.
“Kalau menurut gue, emotional value itu adalah sebuah tambahan terhadap produk lo yang functional. Core product gue kopi dan kafein, baru setelah itu ada lapisan-lapisan lainnya, termasuk tempat, pelayanan, dan kepribadian para pelayan di Tuku. Di situlah peran emotional value. Bukan berarti core product-nya akhirnya dibiarkan terbengkalai. Kadang ada saja pemilik coffee shop yang melakukan investasi mahal pada mesin kopi, tapi rasanya gak dipikirin. Ada yang mahal di suasana tempatnya, tapi rasanya gak dipikirin. Jadi, jangan produk yang, sorry to say, kurang dari segi kualitas dan performance, lo paksain dan branding sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu emotional belaka gitu. Buat gue, produk yang gue jual itu harus selalu tetap thoughtful enough dan layak untuk konsumen.” jelas Kak Tyo.
Good Product is Good Marketing
“Ngomongin produk kan udah, sekarang ngomongin dari segi pemasaran. Waktu awal Tuku berdiri, strategi pemasaran apa aja sih yang lo jalanin dan apa saja tantangan dalam memasarkan bisnis lo tersebut?” tanya saya.
Apablia beberapa bisnis memilih untuk berinvestasi besar-besaran pada iklan dan media social, tidak begitu dengan Kak Tyo dan Tuku. Kak Tyo percaya bahwa buzz atau popularitas merupakan efek gabungan antara produk yang relevan dan pengaruh dari para penggiring opini/influencer. Karena penggiring opini seperti desainer maupun pekerja seni lainnya banyak yang berdomisili di Cipete dan tidak sedikit dari mereka yang memiliki social media presence yang kuat, Kak Tyo lebih memilih focus untuk mengembangkan dan memperbaiki kopi yang dijual oleh Tuku. Dengan demikian, penggiring opini akan menciptakan buzz itu sendiri sebagai efek dari produk dan nuansa yang relevan dan didesain dengan baik.
Overdemand and Fail Positioning
Dari segi tantangan, masalah-masalah yang dihadapi oleh Tuku adalah good problems. Salah satu good problems adalah hal yang sempat saya tuliskan di awal artikel ini yakni over-demand. Setiap hari Kak Tyo selalu melakukan briefing dan meeting dengan para staff Tuku supaya di tengah derasnya permintaan, kualitas produk dan pelayanan dapat dipertahankan. Masalah yang lainnya adalah positioning yang sedikit keliru. Positioning high-end cabang Tuku di Senopati dianggap Kak Tyo sedikit keliru sehingga ia dan timnya harus memindahkan lokasi cabang tersebut ke Pasar Santa dan mengubah cara komunikasi Tuku dengan konsumen.
Model Grab & Go Semakin Diminati?
Akhirnya, obrolan kita pada sore itu sampai pada akhirnya. Toko Kopi Tuku berhasil mengambil celah grab & go coffee shop, padahal selama ini sebagian besar coffee shop menawarkan suasana tempat nongkrong yang relatif luas. Model bisnis seperti ini dapat memangkas nilai investasi yang cukup besar dalam membuat tempat berbisnis. Kira-kira, menurut Kak Tyo, apakah model grab & go seperti ini akan semakin diminati kedepannya?
“Kita orang Indonesia, orang Indonesia maunya yang gampang aja. Kenapa franchise digandrungi? Lo tinggal keluar duit, lalu dapat sistem. Nah, zaman sekarang lo bisa punya barang dan langsung jualan. Punya barang, foto, upload, jualan, hidup. Pertanyaannya, saat semuanya seperti itu apakah akan jadi gampang lagi? Karena standarnya akan baru lagi kan. Berkaca dari Tuku, gue kan bermain di positioning itu sendirian kemarin, first-mover advantage. Mana ada kopi yang langsung takeaway gitu kan. Kedepannya, kalau ide ini pun ada yang meniru, apakah nanti ke depannya positioning ini akan tetap fresh?” tutup Kak Tyo.
Work Should Be Fun!
Berbisnis tentunya merupakan proses dan kegiatan yang memakan waktu yang tidak sedikit. Berbagai proses harus dilalui seperti mencari ide awal, memperhitungkan Return On Investment dari ide tersebut, melakukan riset produk, melakukan riset pemasaran, meluncurkan produk, dan masih banyak lagi. Dalam proses tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kadang pelaku bisnis pun dapat mengalami kejenuhan maupun demotivasi dalam bekerja. Buat Kak Tyo, pendekatan santai tapi serius adalah pendekatan yang tepat untuk mengatasi masalah ini.
“Hampir gak ada masalah sih di semua proses itu karena gua buat prosesnya se-fun mungkin. Gue bisa ajak jalan dulu nonton dulu baru kerja. Gua hanya berusaha menikmati apapun yang kita lakukan sih. Kalau emang udah basi, ya udah, basi, gak usah dikerjain. Biar ngeflow dan idenya itu jalan,” tegas Kak Tyo.
Kepribadian Toko Kopi Tuku
“Gue pengen nyobain bikin kopi yang mendukung komunitas lokal dan kehidupan tetangga sekitar. Jadi, ngopi-nya juga balik ke yang fungsional. Buat yang berangkat kerja mampir sebentar buat minum kopi, maupun buat yang pulang kerja dan sebelum pulang mampir dulu buat minum kopi. Memang dari sejak tahun 90an toko kopi itu kan sudah menjadi sebuah lokus social tersendiri. Inspirasinya datang dari situ juga,” jelas Kak Tyo sambil membalas pesan di ponselnya.
Saya cukup penasaran dengan keputusan ini. Ketika beberapa gerai kopi yang bermunculan di Jakarta memiliki space dan target skala bisnis yang besar, Kak Tyo memilih untuk ‘membuat kopi untuk tetangga sekitar di Cipete’. Kenapa ya?
“Mungkin karena gue anaknya mager kali ya dan modalnya ga begitu banyak, jadi pengennya yang skalanya kecil. Tokonya kan udah kecil tapi gimana biar bisa impactful. Gue males kalau effort terlalu besar. Gue suka yang usahanya pas, hasilnya juga sesuai,” kata Kak Tyo. Seorang pengusaha yang malas gerak? Kedengarannya kurang lazim. Tetapi, begitulah Kak Tyo mendeskripsikan dirinya. Bagi dirinya, mager adalah suatu sifat yang ia sudah miliki dari kecil.