WORK SHOULD BE FUN! KOPI TUKU

Dari Pakaian Pra-Remaja Hingga Kopi Lokal

Kalau lowest point dari segi operations lo kira-kira apa, Yo?

“Kayaknya ya ini setelah Pak Jokowi mampir ke Tuku hahaha. Forecasting gue jadi melampaui prediksi sehingga gue mesti nambah anak-anak (pegawai) lagi. Tidak jarang karena makin banyaknya karyawan, ya ada beberapa yang kualitasnya kurang terkontrol. Kalau ada hal yang langsung gue lihat dan gue rasa kurang pas, pasti gue langsung ajarin yang bener ke karyawan gue tersebut. Di sisi lain, gue tentunya tetap bersyukur kunjungan itu terjadi.”

Salah satu hipotesis saya terbantahkan dengan jawaban tersebut. Popularitas naik; penjualan naik; penjual senang. Tidak langsung terpikirkan oleh saya tantangan riil yang dihadapi oleh sebuah bisnis akibat bisnisnya makin dikenal oleh masyarakat.

Yang ada di pikiran saya waktu itu:
‘Wah mantap banget ini Toko Kopi Tuku dapat endorsement gratis, pasti bagus lah buat bisnisnya.’
‘What could go wrong for them..’

Memang, sejak dikunjungi oleh Presiden Jokowi, Toko Kopi Tuku yang berlokasi di daerah Cipete, Jakarta Selatan ini semakin dipenuhi para pembeli, terutama driver Gojek yang menjadi perantara pembelian. Bahkan, setiap driver Gojek dibatasi sebanyak 12 cup setiap pembelian. Perbincangan saya dengan Andanu Prasetyo, alumni S1 Universitas Prasetiya Mulya angkatan 2007 sekaligus pemilik Toko Kopi Tuku pada 3 Agustus 2017 di Dua Coffee, Cipete wawasan saya lebih lagi mengenai perjalanan bisnis dirinya. Siapa sangka perjalanan bisnisnya dimulai dari pakaian wanita pra-remaja?

Siapa Tim Saya?

“Iya, dulu tugas Business Project gue pas semester tujuh itu baju cewe!” begitu katanya sore itu. Dari pakaian wanita ke kopi lokal, jauh juga ya.

Berdasarkan pengamatan sekilas saya selama ini, di Universitas Prasetiya Mulya – dan mungkin juga di kampus bisnis lainnya – ada empat tipe mahasiswa dalam sebuah business project:
Mereka yang sekelompok dengan teman-teman dekatnya. Bisa karena cocok kerja satu sama lain, bisa juga karena ‘kepepet’.
Mereka yang sekelompok dengan orang-orang terbaik pada bidangnya masing-masing (Marketing, Finance, Operations, Design, dan sebagainya)
Mereka yang sekelompok dengan siapa saja yang tersedia atau bersedia.
Gabungan beberapa atau semua tipe yang sudah disebutkan di atas
So, hal itulah yang saya tanyakan pertama kali ke Kak Tyo. Ternyata, kelompok Kak Tyo waktu itu adalah gabungan tipe pertama dan kedua. Waktu itu, teman sepermainan Kak Tyo adalah Fitria Sadonia (Research & Development) dan Cheryl Angeline (Chief Operating Officer). Keduanya penggemar dan penggiat bidang fashion. Secara bisnis, Kak Tyo, Tria, dan Angie kuat di bagian operations. Namun, mereka masih membutuhkan satu orang di bagian marketing dan satu orang di bagian finance. Aulia Rozy kemudian bergabung sebagai Chief Marketing Officer.

“Untuk bagian finance gue ajak-ajakin semua tuh temen-temen gue tapi gue seleksi dulu berdasarkan laporan-laporan keuangan yang pernah mereka buat. Akhirnya ada nih cewe, suka fashion, dan laporan keuangannya rapi, namanya Putris. Dia akhirnya yang bergabung sebagai Chief Finance Officer,” jelas Kak Tyo.

Kayaknya ya ini setelah Pak Jokowi mampir ke Tuku hahaha. Forecasting gue jadi melampaui prediksi sehingga gue mesti nambah anak-anak (pegawai) lagi. Tidak jarang karena makin banyaknya karyawan, ya ada beberapa yang kualitasnya kurang terkontrol. Kalau ada hal yang langsung gue lihat dan gue rasa kurang pas, pasti gue langsung ajarin yang bener ke karyawan gue tersebut. Di sisi lain, gue tentunya tetap bersyukur kunjungan itu terjadi.

Ingat Kuliah, Ingat Kleio

Mereka berlima akhirnya menamakan brand pakaian perempuan pra-remaja tersebut Kleio. Tapi, kenapa Kleio? Kenapa baju cewe?

“Intinya di awal gue mikir udah fashion aja karena penggeraknya juga di cewe-cewe ini. Kita ambil suatu topik yang mudah dan ada feel-nya. Tadinya sempat mau baju anak-anak. Akhirnya, kita ambil yang lebih challenging yaitu baju untuk perempuan pra-remaja umur 15 tahun. Kids, teen, dan adult udah ada pemainnya masing-masing, tapi kalau pre-teen relatif minim. Kalaupun ada itu GAP yang jual. Yang uniknya lagi adalah sizing chart untuk Kleio ini kita buat sendiri,” ujar Kak Tyo.

Dalam memasarkan produknya, Kleio menggunakan kombinasi social media dan pemasaran offline dengan membuka booth. Di sekitar tahun 2011, Instagram belum booming, sementara Facebook dan Twitter sudah lebih dahulu dikenal. Kleio pun memanfaatkan kedua media social tersebut. Walaupun begitu, pemasaran online dulu belum semudah sekarang. Konsep endorse ala seleb Instagram belum terlalu lazim. Ditambah lagi, fitur ads di media social juga belum terlalu popular saat itu.

Secara umum, focus Kleio lebih besar pada pemasaran offline. Selama beroperasi, tim Kleio total membuka booth sekitar enam kali di berbagai mall di Jakarta. Salah satu mall yang biaya sewanya cukup merogoh kocek adalah Cilandak Town Square. Tim Kleio waktu itu harus mengeluarkan 2,5 juta untuk sewa per hari. Bahkan, harga tersebut merupakan harga untuk sebuah hari biasa, bukan harga sewa sebagai bagian dari rangkaian acara berhari-hari yang sedang berlangsung di Citos. Wah, relative lebih menantang ya karena harus lebih selektif dalam memilih lokasi, timing, dan harga sewa yang tepat.

Antara Kemalasan dan Kemampuan Observasi
Sebagai mahasiswa jurusan Marketing & Branding, saya terus menerus ditekankan bahwa data dan riset itu penting sebelum membuat bisnis atau mengeluarkan produk baru. Bahkan, pada tahun 2009 saja, brand seperti Starbucks mengeluarkan 6,5 juta USD hanya untuk riset dan pengembangan. Saya penasaran, bagaimana ya proses riset di UKM seperti Tuku?

Untuk keperluan riset dan observasi, Kak Tyo sempat mengunjungi beberapa kota di Indonesia, bahkan sampai ke Melbourne, Australia. Ia sangat mengenali dirinya: malas mengambil resiko, mager, agak introvert, modal relatif kecil, dan link social yang biasa-biasa saja. Namun, kepribadiannya yang introvert justru membuat dia lebih baik dalam menggunakan intuisi dan pengamatannya. Walaupun demikian, hal yang tersulit buat Kak Tyo terkadang adalah memilah dan memilih antara intuisi dan emosi ketika melakukan observasi bisnis.

Ada 5 aspek yang ditekankan medium dark roasted coffee ala Toko Kopi Tuku:
Pahit tapi tidak terlalu asam
Masyarakat Indonesia awalnya lebih terpiasa dengan kopi yang rasanya pahit, seperti Robusta. Tuku mencoba menawarkan kopi yang memiliki rasa pahit namun dengan tingkat asam yang rendah
Rasa yang intens/menonjol
Mayoritas lidah konsumen terbiasa dengan rasa rempah dan pedas yang membuat lidah mereka tidak terlalu peka. Tuku menawarkan rasa yang intens dan dapat diidentifikasi oleh konsumen.
Karakter kopi yang kental & pahit (tebal)
Salah satu ciri khas kopi Indonesia adalah kental dan pahit, misalnya kopi tubruk. Karakter kopi yang tebal inilah yang juga disajikan oleh Tuku
After-taste kecoklatan
Rasa yang akhir adalah aspek penting bagi konsumen Indonesia, sehingga rasa akhir coklat ini dianggap Tuku mewakili rasa robusta namun menjadi manis dan gurih juga ketika dicampur dengan susu.
Dingin dengan es
Cuaca Jakarta sudah panas dan minuman dingin secara umum menjadi preferensi masyarakat Jakarta.
N: “Detail banget ya. Ini lo lakukan semua risetnya bener-bener sendiri? Ini riset secara kualitatif atau kuantitatif?”
A: “Iya, sendiri, dan mostly kualitatif. Tapi metode ini hanya pas untuk scope bisnis yang sekecil ini ya. Pastinya beda riset di perusahaan besar dan riset di perusahaan gue. Apabila nanti Tuku semakin besar, tentunya metode riset gue akan menyesuaikan dengan skala bisnisnya karena gue sadar gue gak di cara yang paling tepat”

Emotional vs Functional Value
Obrolan kami sore itu pun berlanjut. Tidak terasa, sudah hampir 1 jam lebih kami mengobrol. “Wah kalau dulu pas sebelum masuk kuliah gue mana mungkin bisa ngobrol sama orang sebanyak ini. Gue cenderung pendiam dan menjawab seperlunya aja. Sekarang lo udah nanya dikit, gue udah cerita kemana-mana ‘kan haha,” kenang Kak Tyo.

Ada satu hal lagi yang masih mengusik benak saya. Ketika banyak artikel dan buku bisnis memberi penekanan pada sisi emosional konsumen, cara menigkatkan keterikatan emosional konsumen, dan cara merangsang emosi konsumen dalam produk dan jasa yang kita tawarkan, Kak Tyo malah menekankan bahwa Tuku ingin ngopi-nya kembali ke fungsional. Toh, walaupun begitu, banyak konsumen Tuku yang merasakan kedekatan dengan Tuku. Saya mencoba mengklarifikasi maksud konkrit dari pernyataan Kak Tyo tersebut.

“Kalau menurut gue, emotional value itu adalah sebuah tambahan terhadap produk lo yang functional. Core product gue kopi dan kafein, baru setelah itu ada lapisan-lapisan lainnya, termasuk tempat, pelayanan, dan kepribadian para pelayan di Tuku. Di situlah peran emotional value. Bukan berarti core product-nya akhirnya dibiarkan terbengkalai. Kadang ada saja pemilik coffee shop yang melakukan investasi mahal pada mesin kopi, tapi rasanya gak dipikirin. Ada yang mahal di suasana tempatnya, tapi rasanya gak dipikirin. Jadi, jangan produk yang, sorry to say, kurang dari segi kualitas dan performance, lo paksain dan branding sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu emotional belaka gitu. Buat gue, produk yang gue jual itu harus selalu tetap thoughtful enough dan layak untuk konsumen.” jelas Kak Tyo.

Good Product is Good Marketing
“Ngomongin produk kan udah, sekarang ngomongin dari segi pemasaran. Waktu awal Tuku berdiri, strategi pemasaran apa aja sih yang lo jalanin dan apa saja tantangan dalam memasarkan bisnis lo tersebut?” tanya saya.

Apablia beberapa bisnis memilih untuk berinvestasi besar-besaran pada iklan dan media social, tidak begitu dengan Kak Tyo dan Tuku. Kak Tyo percaya bahwa buzz atau popularitas merupakan efek gabungan antara produk yang relevan dan pengaruh dari para penggiring opini/influencer. Karena penggiring opini seperti desainer maupun pekerja seni lainnya banyak yang berdomisili di Cipete dan tidak sedikit dari mereka yang memiliki social media presence yang kuat, Kak Tyo lebih memilih focus untuk mengembangkan dan memperbaiki kopi yang dijual oleh Tuku. Dengan demikian, penggiring opini akan menciptakan buzz itu sendiri sebagai efek dari produk dan nuansa yang relevan dan didesain dengan baik.

Overdemand and Fail Positioning
Dari segi tantangan, masalah-masalah yang dihadapi oleh Tuku adalah good problems. Salah satu good problems adalah hal yang sempat saya tuliskan di awal artikel ini yakni over-demand. Setiap hari Kak Tyo selalu melakukan briefing dan meeting dengan para staff Tuku supaya di tengah derasnya permintaan, kualitas produk dan pelayanan dapat dipertahankan. Masalah yang lainnya adalah positioning yang sedikit keliru. Positioning high-end cabang Tuku di Senopati dianggap Kak Tyo sedikit keliru sehingga ia dan timnya harus memindahkan lokasi cabang tersebut ke Pasar Santa dan mengubah cara komunikasi Tuku dengan konsumen.

Model Grab & Go Semakin Diminati?
Akhirnya, obrolan kita pada sore itu sampai pada akhirnya. Toko Kopi Tuku berhasil mengambil celah grab & go coffee shop, padahal selama ini sebagian besar coffee shop menawarkan suasana tempat nongkrong yang relatif luas. Model bisnis seperti ini dapat memangkas nilai investasi yang cukup besar dalam membuat tempat berbisnis. Kira-kira, menurut Kak Tyo, apakah model grab & go seperti ini akan semakin diminati kedepannya?

“Kita orang Indonesia, orang Indonesia maunya yang gampang aja. Kenapa franchise digandrungi? Lo tinggal keluar duit, lalu dapat sistem. Nah, zaman sekarang lo bisa punya barang dan langsung jualan. Punya barang, foto, upload, jualan, hidup. Pertanyaannya, saat semuanya seperti itu apakah akan jadi gampang lagi? Karena standarnya akan baru lagi kan. Berkaca dari Tuku, gue kan bermain di positioning itu sendirian kemarin, first-mover advantage. Mana ada kopi yang langsung takeaway gitu kan. Kedepannya, kalau ide ini pun ada yang meniru, apakah nanti ke depannya positioning ini akan tetap fresh?” tutup Kak Tyo.

Work Should Be Fun!
Berbisnis tentunya merupakan proses dan kegiatan yang memakan waktu yang tidak sedikit. Berbagai proses harus dilalui seperti mencari ide awal, memperhitungkan Return On Investment dari ide tersebut, melakukan riset produk, melakukan riset pemasaran, meluncurkan produk, dan masih banyak lagi. Dalam proses tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kadang pelaku bisnis pun dapat mengalami kejenuhan maupun demotivasi dalam bekerja. Buat Kak Tyo, pendekatan santai tapi serius adalah pendekatan yang tepat untuk mengatasi masalah ini.

“Hampir gak ada masalah sih di semua proses itu karena gua buat prosesnya se-fun mungkin. Gue bisa ajak jalan dulu nonton dulu baru kerja. Gua hanya berusaha menikmati apapun yang kita lakukan sih. Kalau emang udah basi, ya udah, basi, gak usah dikerjain. Biar ngeflow dan idenya itu jalan,” tegas Kak Tyo.

Kepribadian Toko Kopi Tuku
“Gue pengen nyobain bikin kopi yang mendukung komunitas lokal dan kehidupan tetangga sekitar. Jadi, ngopi-nya juga balik ke yang fungsional. Buat yang berangkat kerja mampir sebentar buat minum kopi, maupun buat yang pulang kerja dan sebelum pulang mampir dulu buat minum kopi. Memang dari sejak tahun 90an toko kopi itu kan sudah menjadi sebuah lokus social tersendiri. Inspirasinya datang dari situ juga,” jelas Kak Tyo sambil membalas pesan di ponselnya.

Saya cukup penasaran dengan keputusan ini. Ketika beberapa gerai kopi yang bermunculan di Jakarta memiliki space dan target skala bisnis yang besar, Kak Tyo memilih untuk ‘membuat kopi untuk tetangga sekitar di Cipete’. Kenapa ya?

“Mungkin karena gue anaknya mager kali ya dan modalnya ga begitu banyak, jadi pengennya yang skalanya kecil. Tokonya kan udah kecil tapi gimana biar bisa impactful. Gue males kalau effort terlalu besar. Gue suka yang usahanya pas, hasilnya juga sesuai,” kata Kak Tyo. Seorang pengusaha yang malas gerak? Kedengarannya kurang lazim. Tetapi, begitulah Kak Tyo mendeskripsikan dirinya. Bagi dirinya, mager adalah suatu sifat yang ia sudah miliki dari kecil.

Leave a Reply